KawanuaInfo.com — Akademisi FISIP Unsrat Ferry Daud Liando sebagai tenaga ahli dalam pembahasan Rancangan peraturan daerah (Ranperda) Kepemudaan memberikan catatan bahkan ke berbagai Peraturan daerah yang telah menjadi produk hukum dan disahkan oleh DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut).

Pembahasan rancangan Peraturan Daerah kepemudaan pun terus dipacu oleh Panitia khusus (Pansus) DPRD Sulut dalam rangka mengakomodasi berbagai masukan dan saran organisasi kepemudaan pada fokus group disscusion (FGD) beberapa waktu lalu, pihak Pansus dan Tim Ahli DPRD melakukan rapat lanjutan yang di pimpin oleh Ketua Pansus Eldo Wongkar.

Akademisi FISIP Unsrat Ferry Daud Liando selaku Tim Ahli DPRD mengatakan bahwa hal yang paling sulit dalam pembentukan Perda bukanlah pada proses penyusunan perda tapi pada implementasinya.

Menurutnya, pada proses penyusunan, pansus DPRD pasti akan selalu berpacu dan selalu berpedoman pada ketentuan perundang-undangan, menghadirkan tenaga ahli serta aktif melakukan konsultasi pada pemerintah pusat baik terkait dengan kebijakan maupun formulasi hukum dan perundang-undang.

“Kalaupun ternyata ada perda yang sudah di sahkan oleh DPRD dan Kemendagri namun ternyata terdapat materi yang bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan kepentingan umum maka ada mekanisme koreksi yakni  di Mahkamah Agung lewat judicial Review, sehingga hal yang paling sulit dalam suatu perda sesungguhnya adalah penerapan perda atau implementasi perda,” ungkap Ferry Senin, (7/7/2025) usai rapat pembahasan Ranperda Kepemudaan.

“Penyebabnya adalah ketidaksingkronan cara berpikir antara DPRD sebagai pembuat perda dengan pihak perangkat daerah sebagai eksekutor atau pelaksana perda,” terang Ferry.

Lanjut Ferry, ketidaksingkronan dapat terjadi karena perangkat daerah kurang dilibatkan dalam proses penyusunan perda, ketidak jelasan kewenangan antar perangkat daerah tentang siapa melakukan apa, tidak ditentukan standar pencapaian keberhasilan perda, ego sektoral antar perangkat daerah, kurangnya koordinasi antar perangkat daerah serta lemahnya pengawasan DPRD atas pelaksanaan suatu perda.

Keberhasilan DPRD bukan ditentukan oleh banyaknya perda yang dihasilkan tiap tahun, akan tetapi bagaimana perda itu memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat. Perda itu bukan produk keberhasilan, karena perda itu hanya sebagai alat atau instrumen dalam pencapaian suatu tujuan bersama.

“Selama ini banyak perda yang setelah di sahkan langsung masuk lemari, tertidur dan tidak ada manfaat sebagaimana tujuan perda,” Sorot Akademisi FISIP Unsrat itu.

DPRD perlu juga bekerja sama dengan Biro Hukum untuk menghitung berapa banyak perda yang sudah ada dan dari jumlah itu terdapat berapa banyak perda yang tidak memberikan dampak sama sekali.

Setelah itu diperlukan kajian mengapa perda itu tertidur dan tidak memberikan dampak.

“Hasil kajian ini bisa dijadikan evaluasi bagi DPRD dalam membentuk perda atau dalam penetapan prolegda tahunan. Sayang jika membuat perda mulai dari perencanaan, penyusunan hingga sosialisasi perda bisa menghabiskan ratusan juta tapi tidak memberikan manfaat,” jelasnya.

(Erga)