Penulis: Yosua R. Sinaulan
Sulut, kawanuainfo.com – Pekan lalu, beberapa media memuat berita pernyataan Gubernur Yulius Selvanus terkait Captikus.
Dalam salah satu berita yang diberikan judul ‘Gubernur Sulut YSK Wacanakan Cap Tikus Dijual Secara Internasional Demi Sejaterahkan Petani Aren’, ia mengatakan “Captikus kita ini murah meriah, tapi efeknya besar. Kita harus memberikan solusi kepada masyarakat kita khususnya bagi petani pohon aren,” jelas Gubernur Yulius dalam pertemuan dengan Rektor dan Pimpinan Universitas di Rudis Gubernur, Kamis (8/5/2025).
Jika di cerna secara impulsif, kalimat ini jelas memberikan peluang bagi keberlangsungan hidup petani captikus yang ada di Sulawesi Utara. Terlebih memberikan semangat baru terhadap pengakuan kearifan lokal di panggung global.
Pun beberapa bulan sebelumnya, Gubernur YSK juga telah menyampaikan komitmennya akan menyejahterakan para pengusaha captikus.
“Mereka selama berusaha tapi saat menjual mereka bingung, karena tak bisa diputar kemana-kemana akhirnya diminum sendiri,” kata Gubernur YSK dalam Rapat Paripurna dalam Rangka Penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Tahun 2024, Senin (24/3/2025).
Sekali lagi, narasi itu pun menyiratkan bahwa Gubernur memperhatikan minuman kearifan lokal ini.
Dalam wawancara bersama wartawan, Gubernur YSK mendorong captikus ini di ekspor keluar negeri.
Namun, pernyataan-pernyataan diatas ini menampakan ironi yang tidak bisa diabaikan. Disaat pemerintah memberikan pernyataan bahwa captikus akan dibawa dalam tataran global tapi fakta dilapangan para petani masih diperhadapkan pada persoalan hukum.
Yang menjadi bayang-bayang bagi petani ialah kriminalisasi, ketidakpastian hukum, dan yang penting juga adalah tentang absennya pemerintah dalam menghadirkan kebijakan perlindungan yang kongkret.
Seperti artikel PULINCA: Urgensi Captikus Adalah Regulasi, Wujudkan Kepastian Hukum Baru Bicara Ekspor! yang dimuat kawanuainfo.com beberapa waktu lalu, Perihal ini yang semestinya diperhatikan oleh Gubernur Sulawesi Utara. Kalau Ekspor didahului sepertinya saat ini kita masih diperhadapkan pada paradoks kebijakan, bagaimana mungkin captikus dibawah ke ruang yang lebih luas go international sedangkan legalitas produksi tradisional petani captikus saja belum jelas di dalam negera apa lagi di negerinya sendiri provinsi Sulawesi Utara.
- Ironi Kebijakan: Branding Global vs Masalah Lokal
Memang mendengar bahwa produk budaya kearifan lokal kita ketika akan di go internationalkan merupakan suatu yang membanggakan. Wacana ini mencerminkan semangat promosi kebudayaan yang sangat kita harapkan. Ditambah lagi jika nanti captikus dibawah ke ranah international akan membawa keuntungan besar bagi bangsa kita semakin banyak yang tau bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang punya peluang pengembangan minuman berakohol. Akan tetapi kita masih diperhadapkan pada kenyataan dilapangan, yang menjadi persoalan mendasar yang perlu dijawab oleh pemerintah adalah belum adanya peraturan di tingkat daerah dalam hal ini Perda atau Pergub yang secara eksplisit memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap petani captikus dan minuman tradisional captikus ini. Petani masih diperhadapkan dengan status hukum yang masih abu-abu. Produksi tradisional captikus ini hanya didorong dengan semangat dari petani untuk penghidupan keluarganya beruntungnya negara menjamin hak untuk hidup tersebut lebih tepatnya hak hidup dalam pekerjaan dan penghidupan keluarga. Hak hidup dalam pekerjaan berarti setiap orang memiliki hak untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang layak, serta memiliki hak atas kondisi kerja yang aman dan sehat. Hak ini dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (2) dan 28 ayat (1), serta berbagai konvensi internasional. Akan tetapi dalam skop regulasi tingkat daerah captikus masih mendapat diskriminasi, captikus masih diperhadapkan dengan benturan regulasi seperti kebijakan pengendalian dan pengawasan yang mempersempit ruang produksi dan distribusi minuman beralkohol tradisional ini. Seperti yang diatur dalam peraturan daerah Provinsi Sulawesi Utara nomor 4 tahun 2014 tentang pengendalian dan pengawasann minuman beralkohol di provinsi Sulawesi Utara. Yang justru Perda ini memberikan pandangan yang berbeda dengan kebutuhan petani lokal seperti yang tertera dalam beberapa pasal diantaranya: pasal 6 & 7, pasal 15, 17 sampai pasal 19, pasal 21 dan pasal 23 beberapa pasal dalam perda ini ada disparitas keinginan masyarakat dalam hal ini petani captikus dengan isi peraturan. Akibatnya minuman tradisional ini tidak bisa didistribusi di daerahnya sendiri dan petani diperhadapkan dengan kriminalisasi hukum dan lain sebagainya.
- Ketiadaan Payung Hukum : Dampaknya Bagi Petani
Terus terang, justru tanpa landasan payung hukum yang jelas akan menunjukan kelemahan dari kebijakan captikus go international ini. Walaupun nantinya akan dibawah ke ranah global akar permasalahan seperti kriminalisasi dan lain sebagaianya tidak akan menjawab persoalan utama yang dialami oleh para petani captikus yang ada di Sulawesi Utara ini. Tidak adanya jaminan produksi dan distribusi yang legal di tingkat daerah akan tetap menjadi masalah bagi petani. Negara masih absen dalam menulusuri akar permasalahan yang harus diselesaikan, negara dalam hal ini pemerintah daerah terlebih Gubernur Sulawesi Utara belum hadir dalam menjamin hulu hilir tata kelola captikus di Sulawesi Utara.
- Captikus sebagai Produk Kearifan Lokal
Padahal Captikus ini merupakan produk budaya yang terus hidup dilintas generasi dan menjadi warisan kekayaan intelektual komunal. Captikus jangan hanya dipandang sebagai komoditas yang membawa keuntungan besar bagi negara dan daerah tapi harus dipandang sebagai bagian dari identitas lokal. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dalam hal ini Gubernur Sulawesi Utara Perlu mengambil kebijakan yang berbasis pada pemantapan produk kebudayaan yang berorientasi pada perlindungan dan membawa kesejahteraan bagi petani lokal.
- Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah Daerah?
Pemerintah Provinsi Sulwesi Utara jangan saja hanya membangun narasi yang sifatnya hanya akan jadi wacana semata tapi terutama, hadirkan regulasi dulu. Perda dan pergub tentang tata kelola yang memuat perlindungan dan lain sebagainya yang berorientasi pada kesejahteraan petani lokal adalah solusi. Libatkan semua unsur yang menjadi pemangku kepentingan terlebih para petani, akademisi, komunitas yang memperjuangkan petani captikus. Bangun wujud nyata yang tidak hanya membangun citra global tapi bangun ekosistem lokal yang adil.
Sebagai penutup dalam tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa mendorong produk captikus masuk ke ranah global merupakan suatu hal yang baik dan bukanlah suatu hal yang sifatnya keliru. Namun, langkah ini akan terasa hampa jika tidak diimbangkan dengan keberpihakan nyata bagi petani dan produk kearifan lokal ini.
Jangan sampai go international tanpa payung hukum menjadi suatu Ironi bagi captikus di negeri sendiri.
Saatnya pemerintahan YSK-Victory mencetak sejarah tidak hanya menjual sebuah mimpi dan harapan besar bagi petani tapi menghadirkan keadilan dan menjawab persoalan yang sudah lama dibutuhkan oleh para petani captikus yang ada di Sulawesi Utara – regulasi dan produk hukum daerah merupakan kebijakan yang nyata. (***)
Tinggalkan Balasan