KawanuaInfo.com — Akademisi Sulawesi Utara (Sulut) Royke Pangkey yang merupakan pensiunan dosen di UNIMA mencermati terjadinya gelombang demo mahasiswa dan masyarakat Sulut yang terjadi pada bulan September di DPRD Provinsi Sulut.
Royke menilai, adanya ketidakpuasan masyarakat dalam konteks kebijakan sosial, politik, dan ekonomi di daerah.
Royke berpandangan bahwa, demo masyarakat adalah ekspresi ketidakpuasan yang sah dalam sistem demokrasi di mana, terdapat beberapa faktor yang memicu terjadinya protes besar-besaran oleh mahasiswa dan masyarakat terutama karena adanya ketimpangan, ketidakadilan, atau ketidakpuasan publik terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah.
“Ada ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Terjadinya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, krisis ekonomi dan sosial, tuntutan reformasi politik, solidaritas terhadap isu lokal sampai ke tingkat nasional, serta minimnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan,” ungkap Royke Rabu, (17/9/2025) saat berbincang bersama awak media.
“Ini semua yang menjadi keresahan masyarakat,” sambung Royke.
Royke melihat terdapat sejumlah poin penting yang gencar disuarakan dalam protes mahasiswa dan masyarakat yakni kebijakan yang merugikan masyarakat seperti kenaikan pajak, proyek pembangunan yang diwarnai penggusuran, sampai korupsi yang kian menjamur dan penegakkan hukum.
“Saya melihat ada banyak hal yang mendasari ketidakpuasan masyarakat yang berujung pada aksi protes melalui demo bahwa, terjadi banyak korupsi yang melibatkan pejabat, penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat pemerintah, penegakkan hukum, tindakan represif aparat, pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat ketika masyarakat merasa tidak dilibatkan atau tidak didengar dalam proses pengambilan keputusan, pengangguran tinggi, kesenjangan sosial yang semakin tajam, ketersediaan pangan dan kebutuhan pokok, dorongan untuk perubahan sistem pemerintahan atau penggantian pejabat yang dianggap gagal, sampai pada solidaritas perjuangan buruh sarta ketersediaan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak,” terang Royke.
Melihat keresahan publik itu, Royke pun menyarankan adanya evaluasi dan peningkatan serta penguatan di Pemerintah dan DPRD Sulut yang harus memperhatikan transparansi dan akuntabilitas, penguatan pada dialog sosial dan musyawarah terbuka, pembenahan pada aparat penegak hukum, penguatan ekonomi kerakyatan, penguatan pendidikan politik dan demokrasi, sampai pada dilakukannya perbaikan komunikasi pemerintah dengan masyarakat.
“Menurut saya, perlu adanya peningkatan literasi kebijakan agar masyarakat paham latar belakang keputusan pemerintah, pentingnya pendekatan partisipatif dalam demokrasi, kepercayaan publik akan tumbuh jika hukum ditegakkan secara konsisten, redistribusi anggaran untuk mengurangi ketimpangan, diingatkan juga bahwa represi justru memicu radikalisasi dan ketegangan sosial,” jelas Royke.
Menurut Royke, solusi jangka panjang tidak cukup hanya dengan penanganan keamanan, tapi juga perlu pembenahan sistemik berdasarkan prinsip keadilan, transparansi, dan partisipasi.
Pendekatan dari akademisi dan pemerhati politik menjadi penting sebagai jembatan antara aspirasi rakyat dan kebijakan Pemerintah.
Royke pun menyarankan pemerintah dan DPRD agar dapat melakukan perbaikan guna menuju Sulawesi Utara yang lebih maju dan berkelanjutan sebagai berikut:
- Harus dibuka akses informasi publik yang lebih luas dan melibatkan masyarakat sipil dalam proses kebijakan.
- Pengembangan e-governance untuk transparansi dan partisipasi online.
- Pelibatan tokoh masyarakat, dan akademisi sebelum merumuskan kebijakan strategis.
- Membangun forum konsultatif tetap antara pemerintah dan elemen masyarakat.
- Penguatan lembaga penegak hukum dan lembaga pengawas lainnya.
- Fokus pada sektor informal, UMKM, dan petani.
- Menggunakan pendekatan ekonomi kerakyatan berbasis wilayah dan potensi lokal.
- Penciptaan lapangan pekerjaan baru dan memperhatikan standar upah yang layak.
- Memberikan edukasi masyarakat agar partisipatif dan melek politik, bukan hanya reaktif, integrasi pendidikan kewarganegaraan dan literasi digital dalam kurikulum nasional.
- Harus menggunakan pendekatan empati dan komunikasi dua arah.
(Redaksi)
Tinggalkan Balasan